Aceh Barat Daya

 Blangpidie, Mama Kota Abdya: Selamat Ultah ke-19


Oleh:  *Bang Bulah Guhang*


"Uro got, buleun got leumang mak peugot han meutume rasa".


Blangpidie tidak disebutkan dalam deretan kota maritim di pantai barat Sumatera oleh pelaut asing, seperti kota Meulaboh, Kuala Batu, Susoh, dan Lhok Pawoh, dan lain-lain. 


Kota ini berada di pedalaman. Tepatnya di pinggir sungai Krueng Susoh, yang berair jernih, bening, tetapi tak bisa dilayari oleh kapal bertonase besar. 


Koneksi Blangpidie ke laut, dulu harus dilalui via jalan setapak ke daerah Susoh atau dengan perahu melalui kanal-kanal kecil. Satu-satunya koneksi jalan darat lainnya menjadi lintasan orang Gayo Lues saat pulang pergi ke Kedai Susoh. 


Kota ini, pada awalnya dikenal sebagai produsen lada dan padi. Hal itu, setelah adanya migrasi orang-orang dari wilayah Aceh Besar dan Pidie yang membuka seuneubok lada, ketika permintaan pasar dunia pada komoditi lada sangat tinggi. Sambil memproses penanaman lada mereka juga menanam padi, di sekitar area lada. 


Hingga sebelum masa kolonial, landscap Blangpidie, memiliki daerah taklukan Pulau Kayu. Pada awalnya Blangpidie berbatas dengan Kuala Batu di barat, dengan lautan Indonesia di Pulau Kayu, dengan landscap Susoh, dan Lhok Pawoh Utara sampai Gunung Leuser, Loser dan Puncak Tanpa Nama di selatan, Gayo Lues di timur dan utara. 


Batas-batas itu tidaklah terlalu jelas. Banyak daerah di sana belum didiami oleh manusia. Terutama di daerah pegunungan yang sebagiannya daerah Gayo Lues. Tetapi, kemudian pembukaan seuneubok lada, berbarengan dengan penanaman padi, maka wilayah batas itupun terus bergeser.


Punggung gunung tertinggi jadi pembatas Blangpidie sebagai pemisah alur air atawa waterscheiding yang terbentuk dari pegunungan Bukit Barisan, yang memanjang ke utara sampai ke Gunung Loser, Leuser, dan Puncak Tak Bernama sebagai batas alam. 


Batasnya berubah mengikuti dinamika politik dan jaman. Di batas barat, letaknya di antara Kuala Batu, dan Pulau Kayu titiknya di Ie Mameh, jalan setapak ke arah Babahrot yang telah dipotong di daerah Bak Drien Seudeukah. 


Batas bagian selatan Lhueng Meunasah Tuha, jalan setapak ke Lhueng Baroh atawa Krueng Sangkalan, Pulau Ie Mirah, Ujong Kubu, Paya Lhok, Krueng Susoh, dan lautan Hindia Belanda eh kini, Indonesia. 


Batas bagian timur, jalan setapak dekat Lhueng Meunasah Tuha melalui Lhok Kaye Mate, ke arah Bukit Barisan. Dan bagian utaranya adalah punggung Bukit Barisan.


Luasnya diperkirakan oleh kolonial yang berbudaya maritim, sekitar 13 mil daratan. Sebagian daerah ini masih belum, atau kurang didiami oleh penduduk. 


Penduduk Blangpidie, hampir semua berasal dari Pidie. Perkawinan antara perempuan Aceh (Pidie) dengan Melayu pada awalnya sangat jarang terjadi di sana. Orang Aceh (Pidie) lebih sering melakukan perkawinan dengan Suku Rawa (Susoh), dan kemudian menjadi Aceh (distigmakan juga sebagai orang Aceh). 


Wilayah landscap Blangpidie sangat menderita ketika terjadi perang dengan Belanda. Ketika itu perang terjadi dalam kawasan wilayah Aceh Barat. 


Selama perang itu, daerah yang sebelumnya berpenduduk padat, selama 9 tahun perang itu telah ditinggalkan masyarakat. 


Mereka kembali lagi setelah situasi aman terkendali. Blangpidie mulai ramai lagi setelah Teuku Ben Mahmud menyerahkan diri pada Belanda tahun 1908, setelah istri-istri dan anak-anaknya ditahan Belanda di Tapaktuan. 


Namun, saat itu jumlah penduduk Blangpidie sudah berkurang, karena perang telah menimbulkan banyak korban. Landscap Blangpidie, saat itu pendudukan awal Belanda hanya berpenduduk 2.000 jiwa, dan kolonial telah mengeluarkan 800 surat pas kampung. 


Sedangkan, dari empat uleebalang yang ada di Blangpidie, seperti Pulau Kayu pada awalnya lahan digarap oleh orang Melayu dari Susoh, terutama di daerah pesisir. 


Di wilayah hulu, atawa tunong seuneubok lada digarap oleh penduduk dari XXVI Mukim Aceh Besar. Baru kemudian, daerah pedalaman lainnya digarap sebagai seuneubok lada oleh orang-orang dari Pidie. 


Sedangkan Blangpidie pada awalnya digarap oleh para leluhur Teuku Ben Mahmud. Saat Teuku Ben Mahmud dewasa, dia sering membuat kerepotan pasukan marsose pimpinan Letnan Satu H. Colijn.


Colijn ditugaskan Van Heutsz, ke barat daya Aceh, sejak 3 Juni 1899, tepatnya sekitar empat bulan setelah Teuku Umar Johan Pahlawan, syahid 11 Februari 1899. Penempatan ini adalah upaya Heutzs untuk segera menaklukkan seluruh pesisir Aceh, di barat dan timur. 


Teuku Ben Mahmud, anak Teuku Ben Abaih.  Dia lahir 1860 di Gampong Cot, Mukim Kutatinggi. Mereka merupakan para migran dari Langoe, Pidie yang membuka seuneubok lada sejak komoditi lada sedang berharga di akhir abad ke-18 dan paruh awal abad 19. 


Teuku Ben Mahmud lahir pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim Mansyur Syah.  Sultan ini berkuasa di Kesultanan Aceh sejak 1857-1870. 


Saat memutuskan bergerilya melawan Belanda, dia dibantu oleh banyak panglima. Di antaranya Teungku Jambo Awe Seunagan, Haji Yahya Alue Paku, Sayed Abdurahman Terbangan dan Teuku Cut Ali Kluet. Daerah gerilyanya sangat luas mulai dari Kuala Batu, Kluet Utara, hingga pedalaman Singkel. 


Pada tahun 1905, Teuku Ben Mahmud menyerang tangsi Belanda di Blangpidie dengan kekuatan 200an orang, dan 47 anggota pasukannya syahid. Tahun 1901, tangsi ini juga pernah diserang pasukannya dengan kekuatan 500an orang yang membuat pimpinan marsose Letnan Helb kewalahan. 


Tahun 1908, Kapten W.B.J.A Scheepens mengajak Teuku Ben Mahmud turun gunung dan bekerja sama dengan Belanda. Dia bersama 160 pasukannya mau turun gunung dengan syarat anggota pasukannya yang sudah dibuang ke luar Aceh, agar dikembalikan ke kampung halamannya.


Belanda mau mengembalikan Teungku Mohammad Idris ayah Teungku di Susoh, Teungku Mohammad Rajab, Teungku Syekh Taib ayah Haji Ilyas, Keuchik Cut, Teuku Raja Lheu ayah Teuku Tgk Imuem Midan, dan Teungku Arifin alias Teungku Adoe.


Teuku Ben Mahmud setelah  sejak 1895 hingga 1907 berperang di pantai barat selatan Aceh. Akhirnya, beliau dihukum buang ke Ambon tahun 1911 oleh pemerintah Hindia Belanda. 


Setelah dibuang, anaknya yang bernama Teuku Banta Sulaiman jadi Raja Blangpidie. Anaknya pun akhirnya dibuang ke Aceh Timur tahun 1919, lalu dipindahkan ke Kutaraja hingga Jepang datang ke Aceh 12 Maret 1942. 


Saat dia ditahan Belanda, adik Teuku Ben Mahmud, bernama Teuku Rayek jadi Raja Blangpidie. Baru setelah anak Teuku Ben Mahmud yang lain, Teuku Sabi dewasa, posisi uleebalang dijabat oleh keluarga mereka lagi sejak 1936.


Tanggal 10-11 September 1926, giliran Teungku Peukan menyerang tangsi militer Blangpidie. Dia dibantu Said Umar, Waki Ali, dan Nyak  Walad.


Mereka bergerak dari Meunasah Ayah Gadeng Manggeng. Pada malam hari hingga dini hari mereka menyerang tangsi. 


Teungku Peukan dan anaknya bernama Kasim syahid. Mereka dimakamkan di dekat Mesjid Jamik Blangpidie. Setelah itu, Said Umar juga ditangkap dan dibuang ke Makassar, Waki Ali dan Nyak Walad diasingkan ke Jawa. 


Enam bulan kemudian, sekitar Maret 1927 pasukan marsose diserang lagi di Manggeng. Kali ini dilakukan oleh kelompok perguruan silat yang dipimpin oleh Guru Cebeh di Gunong Sabi atau Lembah Sabil. 


Selain itu juga terjadi serangan ala Het Acehmoorden yang dilakukan seorang diri. Aksi ini dilakukan oleh Bidin Keubai di Tangan-Tangan, dan Kadem Ambon di Manggeng.


Menjelang kedatangan Jepang, tangsi Blangpidie hendak diserang oleh Teuku Rasyid dan Habib Qurays yang didukung Zubaedah bin Teungku Peukan dan Teuku Karim bin Teuku Ben Mahmud.


Namun karena kurang koordinasi, sehingga opsir-opsir Belanda cepat mengetahui hal tersebut. Selain itu, pedagang Cina yang ketakutan juga terburu-buru menutup tokonya, padahal sebagian pasukan penyerang tangsi belum sampai ke sana. 


Akibatnya, Teuku Rasyid dkk, terpaksa mundur ke Palak Kerambil bersama Datok Nyak Raja, Teuku Sabi, dan Said Muhammad dari rumah Chek Ahmad. Mereka sama-sama mundur ke sana. Dari sana menggunakan dua buah perahu pukat mereka  berangkat ke Calang untuk menjemput Jepang. 


Rombongan Teuku Rasyid ditembak pasukan Belanda yang sedang dievakuasi dari Suaktimah. Teuku Rasyid pun gugur di sana. Sedangkan Datok Nyak Raja berhasil selamat hingga berjumpa dengan Jepang di Lhokkruet, yang telah disambut oleh Teuku Sabi Lageun, Aceh Jaya. 


Pasukan Belanda yang menembak Teuku Rasyid saat mundur ke perbatasan Sumatra Utara mendinamit beberapa jembatan, di antaranya jembatan Kruengbaru di Lembah Sabil yang berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan sekarang.


Sejak 21 Maret 1942 Jepang menduduki Blangpidie hingga Kemerdekaan Indonesia. Tahun 1946, kedaulatan pemerintahan swapraja sudah mulai beralih ke tangan rakyat, terlebih setelah revolusi sosial berdarah yang melanda Aceh sejak akhir 1945.


Setelah lama berkiprah dalam perjuangan di medan pertempuran melawan kolonial sejak sebelum kemerdekaan, bergabung dengan Aceh Barat, Aceh Selatan dan berlanjut dengan meja perundingan dengan Kabupaten induk Aceh Selatan, Abdya akhirnya jadi Kabupaten setelah melewati presentasi Tim Ekspose Cakab Abdya tanggal 25-29 Mei 2001 di Jakarta. 


Di bawah teken Makblien alias Bidan Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri, maka pada tanggal 10 April 2002, lahirlah Kabupaten Abdya dengan mama kota eh ibu kota Blangpidie. 


*catatan kaphe dan kodak nelayan di Susoh, mie cina Blangpidie tepung Breuh Sigupai, dkk.

Tidak ada komentar: