Aceh
adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau
sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh
merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda. Berikut beberapa mitos
tentang nama Aceh yang dirangkum dari berbagai catatan lama dan di kutip
dari berbagai Sumber.
1.
Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah
menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah
satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang
kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah
Aceh semakin majemuk.
Muhammad
Said mengutip keterangan dari catatan Thomas Braddel yang menyebutkan,
di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari
saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala
itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan
mereka peroleh dari orang Arab Saba.
Orang-orang
Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari
pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum
diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di
Pelabuhan Aceh.
2.
Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan
Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh
sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan
Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3.
HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara,
menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu,
yaitu; Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan
lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah
Semenanjung Melayu.
Semua
bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia
dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa
Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung
Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah.
Letak
kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk
artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang
menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut
berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah
tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau
Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu
li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam
Muri.
Sementara
orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama
Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di
Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari
sebutan Rama Bar atau Rama Bari.
4.
Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau
al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah
kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan
Acehm.
5.
Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis
menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris
menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya
Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang
Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.
6.
Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam
versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe,
cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman
dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai
Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh).
Para
anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung
Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh
di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan
sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut
Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung
Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.
7.
Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan
kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia
melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru
“Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari
kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi
adalah ujung batu putih dekat Pasai.
8.
Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi
di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon
pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri
itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah
seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “Berikan ia padaku karena
kamu sudah mengandung dan aku belum.”
Permintaan
itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi
itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di
bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang
yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi
kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh
(Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).
9.
Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak
raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia
terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk
setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan
menjadi nama Aceh.
10.
Talson menceritakan, pada suatu masa seorang puteri Hindu hilang, lari
dari negerinya, tetapi abangnya kemudian menemukannya kembali di Aceh.
Ia mengatakan kepada penduduk di sana bahwa puteri itu aji, yang artinya
”adik”. Sejak itulah putri itu diangkat menjadi pemimpin mereka, dan
nama aji dijadikan sebagai nama daerah, yang kemudian secara
berangsur-angsur berubah menjadi Aceh.
11.
Mitos lainnya yang hidup di kalangan rakyat Aceh, menyebutkan istilah
Aceh berasal dari sebuah kejadian, yaitu istri raja yang sedang hamil,
lalu melahirkan. Oleh penduduk saat itu disebut ka ceh yang artinya
telah lahir. Dan, dari sinilah asal kata Aceh.
12.
Kisah lainnya menceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak
mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya
tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.
13.
Di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh
adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya
Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil
dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Manteu ini
mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari
bangsa Khmer dari Hindia Belakang. |
Aceh Traffic
Sumber :http://fadelpasee.blogspot.com/2011/08/asal-mula-nama-aceh.html